Minggu, 13 Mei 2012

KEKERASAN ORANG TUA TERHADAP ANAK DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Usulan Penelitian)

 

A.    Latar Belakang Penelitian

Kedudukan anak dalam rumah tangga sebenarnya dalam posisi lebih lemah, lebih rendah karena secara fisik, mereka memang lebih lemah dari pada orang dewasa dan masih bergantung pada orang-orang dewasa di sekitarnya. Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hak-hak dan kewajiban anak dalam rumah tangga, bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga, faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan anak dalam rumah tangga, bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga dan aspek hukum kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga.

Keluarga adalah lingkungan pertama dalam kehidupan anak, tempat dimana anak belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan kepada anak.[1] Pendidikan dalam keluarga sangat menentukan sikap seseorang, karena orangtua menjadi basis nilai bagi anak. Pola asuh, peran dan tanggung jawab yang dijalankan oleh orang tua dalam menerapkan disiplin pada anak bukan merupakan pekerjaan yang mudah, dimana kadang kala orang tua mengalami hambatan. Hambatan-hambatan tersebut berujung pada perlakuan yang salah kepada anak.

Kasus-kasus perlakuan salah yang menimpa anak-anak yang seringkali terjadi adalah kekerasan pada anak. Selama tahun 2006 (dalam Andez, 2007), data dari komnas Perlindungan Anak (PA) menyebutkan, jumlah kekerasan fisik sebanyak 247 kasus, kekerasan seksual 426 kasus sedangkan kekerasan psikis 451 kasus. Kekerasan yang menimpa anak-anak, baik dari keluarga, sekolah, maupun lingkungan sekitar, terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tingginya kekerasan pada anak memperlihatkan bahwa persoalan kekerasan menjadi persoalan yang amat serius, apalagi kekerasan tersebut dilakukan oleh orang tua sendiri. Dimana orangtua seharusnya menjadi seorang yang paling bertanggung jawab atas tumbuh dan berkembangnya anak karena keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak untuk belajar dan menyatakan diri sebagai mahluk sosial.

Dari sekian pengaduan kekerasan yang diterima komnas Perlindungan Anak (PA), pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya adalah pertama, munculnya kekerasan dalam rumah tangga, terjadinya kekerasan yang melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara yang lainnya menyebabkan tidak terelakkannya kekerasan terjadi juga pada anak. Anak seringkali menjadi sasaran kemarahan orang tua. Kedua, terjadinya disfungsi keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Ketiga, faktor ekonomi, yaitu kekerasan timbul karena tekanan ekonomi. Tertekannya kondisi keluarga yang disebabkan himpitan ekonomi adalah faktor yang banyak terjadi.

Tindak kekerasan terhadap anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Meskipun banyak upaya telah dilakukan oleh pemerintah, seperti penyusunan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (RAN-PKTP), pembangunan pusat-pusat krisis terpadu di rumah sakit, pembangunan ruang pelayanan khusus (RPK) di Polda dan Polres, dan penyebaran informasi dan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak, namun kesemua upaya tersebut belum cukup untuk menekan tingginya tindak kekerasan dan eksploitasi terhadap anak.
Sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orang tua sangat berperan dalam meletakan dasar-dasar perilaku bagi anak-anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tak sadar diresapinya dan kemudian menjadi kebiasaan pula bagi anak-anaknya. Hal demikian disebabkan karena anak mengidentifikasikan diri pada orang tuanya sebelum mengadakan identifikasi dengan orang lain. Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat.

Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah salah satu cara mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi; penelantaran dan perlakuan buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking atau jual-beli anak.[2] Patilima (2003) menganggap kekerasan merupakan perlakuan yang salah orang tua. Patilima mendefinisikan perlakuan salah pada anak adalah segala perlakuan terhadap anak yang akibat-akibatnya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang anak, baik secara fisik, psikologi sosial, maupun mental. Hal ini mendorong penulis untuk melakukan penelitian mengenai kekerasan orang tua terhadap anak.

 

B.     Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti mengemukakan permasalahan sebagai berikut :

1.      Apa yang dimaksud kekerasan orang tua terhadap anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ?

2.      Hak-hak apa saja yang menjadi hak anak dalam instrumen hukum perlindungan anak ?

 

C.    Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.      Tujuan Penelitian

Penetapan tujuan yang tepat, demikian menurut pandangan Jack Canfield,[3] merupakan salah satu prinsip terpenting untuk sukses. Penulis sepakat dengan Jack Canfield, bahwa dengan tujuan yang jelas akan memudahkan untuk menentukan langkah-langkah yang selayaknya dilakukan. Demikian halnya dengan penelitian yang terdapat dalam skripsi ini. Tujuan yang hendak dipakai oleh penulis dalam penelitian ini berkaitan dengan fokus kajian yang telah ditetapkan dalam identifikasi masalah di atas.

Sesuai dengan itu, maka tujuan penelitian yang hendak penulis capai yaitu :

a.       Untuk mengetahui bagaimana kekerasan orang tua terhadap anak.

b.      Untuk mengetahui kekerasan orang tua terhadap anak dihubungkan dengan Undang-Unadang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

 

2.      Manfaat Penelitian

Manfaat  yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

a.       Manfaat teoritis, hasil penelitian ini akan dapat memberikan. sumbangan bagi ilmu pengetahuan hukum pidana terutama dalam pelaksanaan perlindungan anak dari segi kekerasan orang tua terhadap anak.

b.      Manfaat praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu mencari solusi-solusi terhadap kendala yang dihadapi dalam proses perlindungan anak.

 

D.    Kerangka Pemikiran

Setiap kali kita mendengar kata kekerasan, mungkin yang sering terbesit dalam benak kita adalah tindakan-tindakan kasar yang mencelakakan anak, caci maki, dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak.[4]

Pada kenyataannya, kekerasan pada anak-anak tidak hanya sebatas itu dan tanpa disadari banyak dilakukan oleh orangtua atau pengasuh. Dari hasil riset yang dilakukan oleh Mitra Perempuan Women´s Crisis Centre, sebuah lembaga pendampingan bagi perempuan dan anak-anak yang mengalami kekerasan terutama dalam rumah tangga, menunjukkan bahwa jumlah anak yang mengalami penganiayaan meningkat dari tahun ke tahun dengan bentuk-bentuk penyiksaan fisik dan seksual.

Ada beberapa situasi yang menyulitkan orang tua dalam menghadapi anak sehingga tanpa disadari mengatakan atau melakukan sesuatu yang tanpa disadari dapat membahayakan atau melukai anak, biasanya tanpa alasan yang jelas. Kejadian seperti inilah yang disebut penganiayaan terhadap anak. Dalam beberapa laporan penelitian, penganiayaan terhadap anak dapat meliputi: penyiksaan fisik, penyiksaan emosi, pelecehan seksual, dan pengabaian.[5] Faktor-faktor yang mendukung terjadinya penganiayaan terhadap anak antara lain  immaturitas/ketidak matangan orang tua, kurangnya pengetahuan bagaimana menjadi orang tua, harapan yang tidak realistis terhadap kemampuan dan perilaku anak, pengalaman negatif masa kecil dari orang tua, isolasi sosial, problem rumah tangga, serta problem obat-obat terlarang dan alkohol. Ada juga orang tua yang tidak menyukai peran sebagai orang tua sehingga terlibat pertentangan dengan pasangan dan tanpa menyadari bayi/anak menjadi sasaran amarah dan kebencian.

 

1.      Penyiksaan fisik

Segala bentuk penyiksaan fisik terjadi ketika orang tua frustrasi atau marah, kemudian melakukan tindakan-tindakan agresif secara fisik, dapat berupacubitan, pukulan, tendangan, menyulut dengan rokok, membakar, dan tindakantindakan lain yang dapat membahayakan anak. Sangat sulit dibayangkan bagaimana orang tua dapat melukai anaknya. Sering kali penyiksaan fisik adalah hasil dari hukuman fisik yang bertujuan menegakkan disiplin, yang tidak sesuai dengan usia anak. Banyak orang tua ingin menjadi orang tua yang baik, tapi lepas kendali dalam mengatasi perilaku sang anak.

 

 

2.      Efek dari penyiksaan fisik

Penyiksaan yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, dan meninggalkan bekas baik fisik maupun psikis, anak menjadi menarik diri, merasa tidak aman, sukar mengembangkan trust kepada orang lain, perilaku merusak, dll. Dan bila kejadian berulang ini terjadi maka proses recovery-nya membutuhkan waktu yang lebih lama pula.

 

3.      Penyiksaan emosi

Penyiksaan emosi adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan orang lain. Jika hal ini menjadi pola perilaku maka akan mengganggu proses perkembangan anak selanjutnya.[6] Hal ini dikarenakan konsep diri anak terganggu, selanjutnya anak merasa tidak berharga untuk dicintai dan dikasihi. Anak yang terus menerus dipermalukan, dihina, diancam atau ditolak akan menimbulkan penderitaan yang tidak kalah hebatnya dari penderitaan fisik. Bayi yang menderita deprivasi (kekurangan) kebutuhan dasar emosional, meskipun secara fisik terpelihara dengan baik, biasanya tidak bisa bertahan hidup. Deprivasi emosional tahap awal akan menjadikan bayi tumbuh dalam kecemasan dan rasa tidak aman, dimana bayi lambat perkembangannya, atau akhirnya mempunyai rasa percaya diri yang rendah. Jenis-jenis penyiksaan emosi adalah :

a.       Penolakan. Orang tua mengatakan kepada anak bahwa dia tidak diinginkan, mengusir anak, atau memanggil anak dengan sebutan yang kurang menyenangkan. Kadang anak menjadi kambing hitam segala problem yang ada dalam keluarga.

b.      Tidak diperhatikan. Orang tua yang mempunyai masalah emosional biasanya tidak dapat merespon kebutuhan anak-anak mereka. Orang tua jenis ini mengalami problem kelekatan dengan anak. Mereka menunjukkan sikap tidak tertarik pada anak, sukar memberi kasih sayang, atau bahkan tidak menyadari akan kehadiran anaknya. Banyak orang tua yang secara fisik selalu ada disamping anak, tetapi secara emosi sama sekali tidak memenuhi kebutuhan emosional anak.

c.       Ancaman. Orang tua mengkritik, menghukum atau bahkan mengancam anak. Dalam jangka panjang keadaan ini mengakibatkan anak terlambat perkembangannya, atau bahkan terancam kematian.

d.      Isolasi. Bentuknya dapat berupa orang tua tidak mengijinkan anak mengikuti kegiatan bersama teman sebayanya, atau bayi dibiarkan dalam kamarnya sehingga kurang mendapat stimulasi dari lingkungan, anak dikurung atau dilarang makan sesuatu sampai waktu tertentu.

e.       Membiarkan anak terlibat penyalahgunaan obat dan alkohol, berlakukejam terhadap binatang, melihat tayangan porno, atau terlibat dalam tindak kejahatan seperti mencuri, berjudi, berbohong, dan sebagainya. Untuk anak yang lebih kecil, membiarkannya menonton adegan-adegan kekerasan dan tidak masuk akal di televisi termasuk juga dalam kategori penyiksaan emosi.

 

4.      Efek dari penyiksaan emosi

Penyiksaan emosi sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik. Dengan begitu, usaha untuk menghentikannya juga tidak mudah. Jenis penyiksaan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak seperti tiba-tiba membakar barang atau bertindak kejam terhadap binatang, beberapa melakukan agresi, menarik diri, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri.

 

5.      Pelecehan seksual

Sampai saat ini tidaklah mudah membicarakan hal ini, atau untuk menyadarkan masyarakat bahwa pelecehan seksual pada setiap usia termasuk bayi mempunyai angka yang sangat tinggi. Bahkan Hopper (2004) mengemukakan bahwa hal ini terjadi setiap hari di Amerika Serikat. Pelecehan seksual pada anak adalah kondisi dimana anak terlibat dalam aktivitas seksual dimana anak sama sekali tidak menyadari, dan tidak mampu mengkomunikasikannya, atau bahkan tidak tahu arti tindakan yang diterimanya. Semua tindakan yang melibatkan anak dalam kesenangan seksual masuk dalam kategori ini :

a.       Pelecehan seksual tanpa sentuhan. Termasuk di dalamnya jika anak melihat pornografi, atau exhibitionisme, dan sebagainya.

b.      Pelecehan seksual dengan sentuhan. Semua tindakan anak menyentuh organ seksual orang dewasa termasuk dalam kategori ini. Atau adanya penetrasi ke dalam vagina atau anak dengan benda apapun yang tidak mempunyai tujuan medis.

c.       Eksploitasi seksual. Meliputi semua tindakan yang menyebabkan anak masuk dalam tujuan prostitusi, atau menggunakan anak sebagai model foto atau film porno.

 

6.      Efek pelecehan seksual

Banyak sekali pengaruh buruk yang ditimbulkan dari pelecehan seksual. Pada anak yang masih kecil dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit, dan lain-lain. Pada remaja, mungkin secara tidak diduga menyulut api, mencuri, melarikan diri dari rumah, mandi terus menerus, menarik diri dan menjadi pasif, menjadi agresif dengan teman kelompoknya, prestasi belajar menurun, terlibat kejahatan, penyalahgunaan obat atau alkohol, dam sebagainya.

 

 

 

7.      Pengabaian anak

Pengabaian terhadap anak termasuk penyiksaan secara pasif, yaitu segala ketiadaan perhatian yang memadai, baik fisik, emosi maupun sosial. Pengabaian anak banyak dilaporkan sebagai kasus terbesar dalam kasus penganiayaan terhadap anak dalam keluarga. Jenis-jenis pengabaian anak :

a.       Pengabaian fisik merupakan kasus terbanyak. Misalnya keterlambatan mencari bantuan medis, pengawasan yang kurang memadai, serta tidak tersedianya kebutuhan akan rasa aman dalam keluarga.

b.      Pengabaian pendidikan terjadi ketika anak seakan-akan mendapat pendidikan yang sesuai padahal anak tidak dapat berprestasi secara optimal. Lama kelamaan hal ini dapat mengakibatkan prestasi sekolah yang semakin menurun.

c.       Pengabaian secara emosi dapat terjadi misalnya ketika orang tua tidak menyadari kehadiran anak ketika ´ribut´ dengan pasangannya. Atau orang tua memberikan perlakuan dan kasih sayang yang berbeda diantara anak-anaknya.

d.      Pengabaian fasilitas medis. Hal ini terjadi ketika orang tua gagal menyediakan layanan medis untuk anak meskipun secara finansial memadai. Dalam beberapa kasus orang tua memberi pengobatan tradisional terlebih dahulu, jika belum sembuh barulah kembali ke layanan dokter.

 

 

8.      Efek pengabaian anak

Pengaruh yang paling terlihat adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak. Bayi yang dipisahkan dari orang tuanya dan tidak memperoleh pengganti pengasuh yang memadai, akan mengembangkan perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab (Hurlock, 1990), dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.

 

9.      Faktor-faktor lain yang mempengaruhi besar/kecil dampak yang diderita anak

Disamping segala bentuk penganiayaan yang dialami anak sebagaimana yang tercantum diatas, ada beberapa hal yang mempunyai andil dalam besar/kecilnya dampak yang diderita anak, antara lain :

a.       Faktor usia anak. Semakin muda usia anak maka akan menimbulkan akibat yang lebih fatal.

b.      Siapa yang terlibat. Jika yang melakukan penganiayaan adalah orang tua, ayah atau ibu tiri, atau anggota keluarga maka dampaknya akan lebih parah daripada yang melakukannya orang yang tidak dikenal.

c.       Seberapa parah. Semakin sering dan semakin buruk perlakuan yang diterima anak akan memperburuk kondisi anak.

d.      Berapa lama terjadi. Semakin lama kejadian berlangsung akan semakin meninggalkan trauma yang membekas pada diri anak.

e.       Jika anak mengungkapkan penganiayaan yang dialaminya, dan menerima dukungan dari orang lain atau anggota keluarga yang dapat mencintai, mengasihi dan memperhatikannya maka kejadiannya tidak menjadi lebih parah sebagaimana jika anak justru tidak dipercaya atau disalahkan.

f.       Tingkatan sosial ekonomi. Anak pada keluarga dengan status sosial ekonomi rendah cenderung lebih merasakan dampak negatif dari penganiayaan anak.

 

E.     Metode Penelitian

Metodologi yang dipergunakan adalah :

1.      Metode Pendekatan : Yuridis Normatif

Yaitu, kajiannya terfokus pada persoalan hukum khususnya tentang tindakan-tindakan yang dikualifikasikan terhadap kekerasan orang tua terhadap anak dihubungkan dengan Unadang-unadang No. 23 Tentang Perlindungan Anak.

2.      Teknik Pengumpulan Data:

a.       Pengumpulan data dilakukan dengan study dokumen untuk memperoleh data skunder.

b.       Wawancara.

 

 

3.      Analisis Data :

Data sekunder yang diperoleh disusun secara sistematis dan kemudian substansinya dianalisis secara yuridis untuk memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan.

 

F.     Sistematika Penulisan

BAB I. PENDAHULAN

........

BAB II. PENGERTIAN UMUM KEKERASAN

........

BAB III. KEKERASAN ORANG TUA TERHADAP ANAK

.........

BAB IV.  KEKERASAN  ORANG  TUA  TERHADAP ANAK DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN NANAK

.........

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN

.........

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

G. Daftar Pustaka

 

Atmasasmita, Ramli, Perlindungan Anak Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 1997.

Aminah, Aziz, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Medan, 1998.

Canfield, Jack, The Succses Principles, Gramedia, Jakarta, 2006.

Harahap Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2000

Joni, Muhammad, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999.

Jalaludin, Rachmat, Tindakan Kekerasan Terhadap Anak, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1999.

Marpaung, Leden, Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

Muladi, Hak Asasi Manusia, Aditama, Bandung, 2005.

Rusli, Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2007.

Sungkawa, Eman, Inrisari Hukum Pidana, Alumni STHG Tasikmalaya, Tasikmalaya, 2004.

_______________, Intisari Hukum Acara Pidana, Alumni STHG Tasikmalaya, Tasikmalaya, 2004.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, 2008.

Sholehhudin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Schaffmeister, at.al, Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.

Sasangka, Hari, Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, 2010.

Sadaswati, Riska, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009.

Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju, Bandung, 2009.

 

Sumber Lain :

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.


[1] Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hlm 217

[2] Ibid

[3] Jack Canfield, The Succes Principles, Gramedia, Jakarta, 2006, hlm. 37.

[4] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijaksanaan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm 153

[5] Ibid, hlm 157

[6] Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Harmonisasi Konvensi Hak Anak dengan Peraturan Perundang-undangan  Nasional, Jakarta, 2001, hlm 34

1 komentar: